Selasa, 10 April 2018

Hati Nurani sebagai fenomena Moral


Setiap maanusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pegalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Sulit untuk menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang menyingkapkan dimensi etis dalam hidup kita. Karena itu pengalaman tentang hati nurani merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika.

Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran. Untuk mengerti hal ini perlu kita bedakan antara pengenalan dan kesadaran. Kita mengenal, bila kita melihat, mendengar atau merasa sesuatu. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan berefleksi tentang dirinya.

Dibedakan menjadi dua, hati nurani retrospektif dan prospektif. Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan menoleh kebelakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau tidak baik. Contoh pertama pada awal bab meyangkut hati nurani retrospektif, dalam artian retrospekif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek dan sebaliknya, memuji bila perbuatannya dianggap bai.

Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam artian ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu seperti barangkali lebih banyak terjadi. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung semacam ramalan. Ia menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita, andaikata kita melakukan perbuatan itu.

Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan peribadi bersangkutan. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita dan berkembang juga bersama perkembangan seluruh kepribadia kita. Selain itu ada alasan lain mengatakan hati nurani bersifat personal, yaitu hanya berbicara atas nama saya. Hati nurani tidak memberikan penilaian tentang orang lain.

Disamping aspek personal, hati nurani juga menunjukkan aspek adipersonal, dimana hati nurani seolah-olah melebihi pribadi kita. Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara tuhan atau bahwa tuhan berbicara melalui hati nurani. Tidak dapat dikatakan hati nurani merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang mempunyai hati nurani karena ia manusia. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk mencapai persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampaui segala perbedaan mengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dan lain-lain.

Dalam sejarah filsafat sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk perasaan, kehendak, atau rasio. Dalam hati nurani pula memainkan peranan baik perasaan maupun kehendak maupun juga rasio. Tapi terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengaku bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Alasannya, karena hat nurani memberi suatu penilaian, artinya suatu putusan (judgement).

Biarpun putusan hati nurani bersifat rasioanl, itu tidak berarti bahwa ia mengemukakan suatu penalaran logis (reasoning). Ucapan hati nurani biasannya juga bersifat tuitif, artinya langsung menyatakan ini baik, terpuji atau tercela. Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang. Tidak boleh terjadi bahwa seseorang dipaksa untuk bertentangan dengan hati nuraninya. Dari sini dapat diketahui bahwa hati nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Malah bisa dikatakan dipandang dari sudut subyek, hati nurani adalah norma terakhir untuk setiap perbuatan kita. Gandhi dan Martin Luther King pun beranggapan melakukan suatu perbuatan baik merupakan perintah hati nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar