Setiap maanusia
mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pegalaman itu merupakan
perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Sulit untuk
menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang menyingkapkan
dimensi etis dalam hidup kita. Karena itu pengalaman tentang hati nurani
merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika.
Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa
manusia mempunyai kesadaran. Untuk mengerti hal ini perlu kita bedakan antara
pengenalan dan kesadaran. Kita mengenal, bila kita melihat, mendengar atau
merasa sesuatu. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia untuk
mengenal dirinya sendiri dan berefleksi tentang dirinya.
Dibedakan menjadi dua, hati nurani retrospektif dan
prospektif. Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang
perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini
seakan menoleh kebelakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan
itu baik atau tidak baik. Contoh pertama pada awal bab meyangkut hati nurani
retrospektif, dalam artian retrospekif menuduh atau mencela, bila perbuatannya
jelek dan sebaliknya, memuji bila perbuatannya dianggap bai.
Hati nurani prospektif melihat ke masa
depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam
artian ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu seperti barangkali lebih
banyak terjadi. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung semacam
ramalan. Ia menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita, andaikata kita
melakukan perbuatan itu.
Hati nurani bersifat personal, artinya selalu
berkaitan erat dengan peribadi bersangkutan. Hati nurani diwarnai oleh
kepribadian kita dan berkembang juga bersama perkembangan seluruh kepribadia
kita. Selain itu ada alasan lain mengatakan hati nurani bersifat personal,
yaitu hanya berbicara atas nama saya. Hati nurani tidak memberikan penilaian
tentang orang lain.
Disamping
aspek personal, hati nurani juga menunjukkan aspek adipersonal, dimana hati
nurani seolah-olah melebihi pribadi kita. Karena aspek adipersonal itu, orang
beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara tuhan atau bahwa
tuhan berbicara melalui hati nurani. Tidak dapat dikatakan hati nurani
merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang mempunyai hati nurani
karena ia manusia. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk mencapai
persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampaui segala perbedaan
mengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dan lain-lain.
Dalam sejarah filsafat sering dipersoalkan apakah hati
nurani termasuk perasaan, kehendak, atau rasio. Dalam hati nurani pula
memainkan peranan baik perasaan maupun kehendak maupun juga rasio. Tapi
terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengaku bahwa hati nurani
secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Alasannya, karena hat nurani
memberi suatu penilaian, artinya suatu putusan (judgement).
Biarpun
putusan hati nurani bersifat rasioanl, itu tidak berarti bahwa ia mengemukakan
suatu penalaran logis (reasoning). Ucapan hati nurani biasannya juga bersifat
tuitif, artinya langsung menyatakan ini baik, terpuji atau tercela. Mengikuti
hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada orang lain
yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang. Tidak
boleh terjadi bahwa seseorang dipaksa untuk bertentangan dengan hati nuraninya. Dari sini dapat diketahui bahwa hati
nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Malah bisa dikatakan
dipandang dari sudut subyek, hati nurani adalah norma terakhir untuk setiap
perbuatan kita. Gandhi dan Martin Luther King pun beranggapan melakukan suatu perbuatan
baik merupakan perintah hati nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar